ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
9 Oktober 2017

Dalam kurun waktu 36 tahun berkarya sebagai novelis, tak lebih dari 10 karya yang dia hasilkan. Namun, setiap kali tulisannya diterbitkan, taburan penghargaan ia terima. Sampai saat ini, novel-novelnya telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa.
Itulah Kazuo Ishiguro, penulis Inggris kelahiran Nagasaki, Jepang, 8 November 1954, yang tahun ini menerima penghargaan bergengsi Nobel Sastra 2017. Prestasi sangat prestisius ini tentu bukan hasil pencapaian yang tiba-tiba. Sebelumnya, lebih dari 20 penghargaan ia peroleh.
Rangkaian pengalaman menarik dalam hidup turut mewarnai karya-karya Ishiguro. Ketika berusia lima tahun, ia diajak keluarganya merantau ke Inggris karena sang ayah mendapat pekerjaan sebagai peneliti di Institut Nasional Oseanografi di kota Guildford, bagian barat daya London.
Keluarga Ishiguro tinggal di sebuah permukiman di Guildford, Surrey, Inggris. Di rumah itu, mereka tetap mempertahankan adat istiadat dan tradisi Jepang, termasuk bercakap-cakap menggunakan bahasa Jepang.
Bagaimanapun Jepang adalah tanah kelahiran yang tak pernah mereka lupakan, terutama bagi Ishiguro. Masih tertancap dalam ingatannya bagaimana ketika berumur lima tahun ia tiba-tiba harus berpisah dengan orang-orang terdekat, mulai dari kakek, nenek, hingga teman-temannya. ”Aku tidak pernah lupa dengan Jepang karena aku harus mempersiapkan diri untuk kembali ke sana. Jadi, aku tumbuh dengan gambaran yang sangat kuat di pikiranku tentang negara ini (Jepang), sebuah negara lain di mana aku memiliki ikatan emosional yang sangat kuat,” kata Ishiguro.
Meskipun dibesarkan dengan adat istiadat Jepang, Ishiguro juga tidak asing dengan tradisi Barat. Ia belajar bermain piano sejak usia lima tahun dan gitar pada usia 15 tahun. Ketika menginjak remaja, Ishiguro bahkan bercita-cita ingin menjadi musisi rock.
Mengembara
Sebelum menginjak bangku kuliah, Ishiguro ”mengembara” ke sejumlah tempat. Pertama, antara April hingga Juli 1974, ia bersama temannya, Brian Dawes, menghabiskan waktu lebih dari tiga bulan bertualang ala backpacker menyusuri negara bagian barat Amerika Serikat dan Kanada.
Baru satu tahun masuk kuliah di University of Kent, Ishiguro kembali cuti kuliah setahun dan pergi ke Renfrew, dekat Glasgow, Skotlandia, untuk menjadi sukarelawan di sebuah kompleks perumahan. Setelah itu, dia masuk kuliah lagi dan menyelesaikan studinya di University of Kent dengan gelar Bachelor of Arts (BA) di bidang Inggris dan Filsafat pada 1978.
Setelah lulus, Ishiguro kembali terjun selama setahun sebagai pekerja sosial di West London Cyrenians, sebuah lembaga nirlaba yang mendampingi para tunawisma dan orang-orang kurang beruntung lainnya. Di tempat inilah Ishiguro bertemu Lorna McDougall, sesama pekerja sosial yang kemudian menjadi istrinya. Mereka menikah pada 1986 dan memiliki seorang anak bernama Naomi yang lahir pada 1992.
Pengalaman emosional mendampingi para gelandangan dan orang-orang kurang beruntung memotivasi Ishiguro kembali studi. Dia kemudian belajar penulisan kreatif Malcolm Bradbury di University of East Anglia pada 1979 di bawah bimbingan penulis Angela Carter.
Momen-momen mengesankan hidup bersama mereka yang kurang beruntung menginspirasi Ishiguro menulis cerita-cerita pendek. Juni 1980, tulisan pertamanya berjudul A Strange and Sometimes Sadness terbit di majalah Banana yang kemudian disusul dua cerita pendek lainnya, Waiting for J dan Getting Poisoned. Tiga cerita pendek ini akhirnya diterbitkan Faber and Faber Ltd dalam satu buku berjudul Introductions 7: Stories by New Writers.
Bertaburan penghargaan
Begitu masuk University of East Anglia, Ishiguro langsung menulis novel pertamanya, A Pale of Hills (1982), yang langsung mendapat sambutan baik dan memenangi penghargaan Winifred Holtby Prize dari Royal Society of Literature. Pada 1983, bersama Martin Amis, Salman Rushdie, Julian Barnes, Rose Tremaine, dan Ian McEwan, Ishiguro juga dinobatkan sebagai satu dari 20 novelis muda Inggris terbaik menurut versi majalah Granta. Pada tahun yang sama, Ishiguro resmi menjadi warga negara Inggris.
Novel keduanya, An Artist of the Floating World (1986) semakin melayangkan Ishiguro ke panggung sastra. Novel itu bertengger di Booker shortlist dan memenangi penghargaan Whitbread Book of the Year. Tak berhenti di sini, novel ketiganya, The Remains of the Day (1989), mendapatkan penghargaan internasional dan memenangi hadiah Booker. Ruth Prawer-Jhabvala bahkan mengadaptasi novel tersebut menjadi sebuah film yang dibintangi aktor kawakan Anthony Hopkins dan Emma Thompson dengan sutradarai James Ivory.
Tiga novel Ishiguro berikutnya kembali meraih penghargaan besar, The Unconsoled (1995) yang menerima hadiah Cheltenham pada 1995, When We Were Orpans (2000) masuk dalam daftar Whitbread Novel Award dan Booker Prize for Fiction, serta Never Let Me Go (2005) yang lagi-lagi terpilih sebagai Booker Prize for Fiction sekaligus US National Book Critics Circle Award.
Novel Let Me Go juga dianugerahi beberapa hadiah sastra di Eropa dan diadaptasi menjadi sebuah film oleh Alex Garland. Koleksi cerita pendek Ishiguro berjudul Nocturnes: Five Stories of Music and Nightfall (2009) juga tak luput dari penghargaan setelah masuk dalam daftar 2010, James Tait Black Memorial untuk kategori cerita fiksi.
Karena prestasi dan sederetan penghargaan yang ia terima, Ishiguro mendapat kepercayaan dari Kerajaan Inggris sebagai Officer of the Order of the British Empire (OBE) pada 1995 di bidang sastra, anggota Royal Society of Literature, dan dianugerahi Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres oleh Pemerintah Perancis pada 1998.
Tak tanggung-tanggung, pelukis Welsh Peter Edwards bahkan didaulat khusus untuk melukis potret wajah Ishiguro yang merupakan bagian dari koleksi permanen di British National Portrait Gallery. Lukisan itu pernah dipajang di kediaman Perdana Menteri Tony Blair di 10 Downing Street, Inggris. Puncak kariernya di bidang sastra dicapainya tahun ini dengan penghargaan Novel Sastra 2017.
Seluruh pencapaian Ishiguro tentu tidak terlepas dari pengalamannya bertualang ke sejumlah tempat dan peristiwa. Dengan bersentuhan langsung kepada realitas, Ishiguro menemukan refleksi dan kisah-kisah mendalam yang memperkaya novel-novelnya.
(AFP/Reuters/britishcouncil.org/norman.hrc.utexas.edu/nobelprize.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar